Tokoh Spiritual

SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

BIOGRAFI

Nama waliullah yang karismatik ini tak pernah lepas dari sebagian besar kaum muslimin. Tingginya derajat keulamaan beliau menempatkannya sebagai pemimpin para waliullah hingga mendapat julukan wali qutb atau sultanul auliya. Seluruh perjalanan hidupnya sarat dengan pacaran cahaya hikmah bagi ulama dan seluruh muslimin. Manakib atau biografinya penuh teladan.

 Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di lahirkan dalam lingkungan yang akrab dengan ilmu pengetahuan agama di Desa Jailan, sebuah wilayah di Jilan Iran pada tahun 471 H / 1051 M versi lain mengatakan Jilan terletak di Irak. Ia putra Syekh Abu Musa yang bergelar Abu Shalih – karena terkenal akan kesalehannya. Ibunya bernama Fatimah. Kedua orang tuanya selalu memetingkan kehidupan keagamaan. Nasab Syekh Abdul Qadir Al-Jailani sampai Rasulullah sebagai keturunan ke sepuluh. Nama lengkapnya adalah Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Abdillah Al-Jily bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang pendiam dan punya sifat sopan santun. Sejak kecil ia suka merenung sambil berfikir tentang keruhanian. Setelah usianya menginjak 18 tahun, ia menjadi anak suka belajar dan selalu bersama dengan orang-orang shaleh. Pada tahun 488 H/1095 ia berangkat ke Baghdad untuk memperdalam ilmu dengan berbekal 8 keping emas peninggalan ayahnya. Sebelum berangkat ibunya berpesan “ Jangan berdusta dalam segala hal”. Dengan mengendarai kuda ia berangkat.

Sampai di kota Hamadan ia dihadang segerombolan perampok. Salah satu perampok membentak sambil bertanya apakah ia membawa uang. Dengan kejujurannya ia menjawab membawa beberapa keping emas. Jawaban itu justru membuat para perampok bingung. Kemudian ia dibawa menghadap kepala para perampok tersebut. Kepala perampok tersebut juga menanyai hal yang sama, jawaban Syekh Abdul Qadir Al-Jailani juga sama. Hal tersebut membuat para perampok bingung dan akhirnya membebaskannya.

Selama di Baghdad ia belajar ilmu fikh kepada Abu Wafa Alin Bin Aqiel, Abu Khatab Al-Kalwadzani dan beberapa ulama lain. Selain itu ia juga belajar kepada Syekh Abu Saad Mubarok, guru besar Mazhab Hanafi dan mendapat ijazah untuk mengajar. Untuk bidang bahasa ia belajar pada Syekh At-Tabrisi, sastra belajar pada Abu Zakariya Yahya bin Ali bin Muhammad bin Hasan Bustam As-Syaibani al-Khatib At Tabrizi. Ia juga belajar di Madrasah Nizamiyah pimpinan filosof besar Imam Ghozali. Bidang tasawuf ia belajar pada Syekh Abi Khair Hammad bin Muslim Ad-Dabbas. Guru ilmu hadis nya antara lain Abu Muhammad bin Ja’far bin Ahmad bin Hasan Al-Baghdadi, Abu Ghalib Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Khadzadadza Al-Baqilani dan beberapa ulama lain.

Pada tahun 521 H/ 1127 M, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mulai mengajar dan berdakwah. Majelis Taklimnya dihadiri puluhan ribu jamaah. Menuru Al-Barzanji, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menguasai 13 ilmu pengetahuan. Dalam berfatwa ia selalu menggunakan dua mazhab yaitu Syafi’i dan Hambali. Ia memang terkenal menguasai ilmu fikh, dimana pernah dibuktikan dengan keunggulannya menghadapi 100 ulama dalam sebuah diskusi. Ia telah membuktikan bahwa dirinya adalah seorang mufti terbesar pada masanya. Tetapi dalam hatinya yang lebih cenderung pada masalah keruhanian, semakin mendorong dirinya untuk keluar dari masalah keduniawian. Ia selalu berupaya menguasai nafsu amarah pada dirinya. Ia selalu berpuasa dan tidak mau meminta makanan kepada makanan kepada siapapun, walaupun tidak makan untuk beberapa hari. Dalam proses pencarian itu ia bertemu dengan seorang sufi yang bernama Yusuf Al-Hamadani. Yusuf Al-Hamadani adalah serang penjual serbet namun begitu ia adalah seorang waliullah besar pada masanya. Secara berangsur-angsur orang itu memberikan bimbingan  kepada Abdul Qadir Al-Jailani dalam masalah tarekat. Yusuf Al-Hamadani adalah seorang yang kasar dan garang dan pelajaran kepada Abdul Qadir Al-jailani diberikan dengan metode yang keras. Namun Abdul Qadir memandang semua itu sebagai sebuah perbaikan terhadap dirinya.

Setelah selesai masa pembelajaran keruhanian dan  mendapat restu dari sufi besar Yusuf Al-Hamadani, maka pada tahun 528H/1108 M, ia mendirikan madrasah dan ribath (semacam pesantren untuk menyendiri) di Baghdad. Madrasahnya berkembang pesat dan muncul gagasan mengenai Tarekat yang selanjutnya disebut Tarekat Qadiriyah. Lama kelamaan madrasahnya tidak mampu menampung murid-muridnya, maka dibangunlah tempat baru yang disebut “masafiru Khanah”.

Sampai usia 51 tahun Syekh Abdul Qadir Al-Jailani belum menikah, karena menikah akan menghambat dalam perjananan menuju Allah. Karena mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW, ia menikah. Istrinya empat orang, mereka adalah istri-istri yang baik dan taat kepadanya. Dari pernikahannya ia dikaruniai sebanyak 49 orang anak, anak laki-laki 27 orang dan yang lain perempuan.

Diluar kehidupan tasawuf dan sosoknya sebagai guru,  Syekh Abdul Qadir Al-Jailani juga sangat kritis terhadap pemerintahan pada saat itu. Ia mengkritik Khalifah Al-Muktafi dari Dinasti Bani Saljuk yang menindas rakyat. Dalam pidatonya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Khalifah Al-Muktafi telah melanggar hak-hak rakyat dengan emgangkat seorang hakim yang zalim. Mendengar pidato tersebut Al-Muktafi segera memberhentikan hakim tersebut.

Tentang sosoknya, ibnu Syati’ menulis dalam kitab Thabaqatri  Muhtasyar al-Hanabilah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berperawakan sedang dan berdada bidang. Kulitnya agak hitam, jenggotnya tebal dan panjang, alisnya tebal, suaranya tegas, pembawaannya menawan, berwibawa dan berilmu agama luas. Dalam buku “Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani” karya Dr. Asep Usman Ismail, MA, beliau mendapat gelar kehormatan, Pertama Muhyiddin was Sunnah artinya tokoh yang menghidupkan agama dan sunah, mencerminkan perannya sebagai pembela agama dan pembimbing umat untuk mengikuti sunah rasulullah. Kedua, Mumitul Bid’ah yang berarti tokoh yang menghapuskan bid’ah atau penyimpangan dalam agama dan pebuatan yang tidak sejalan dengan sunah rasul. Ketiga Al-Imamuz Zahid, pemimpin yang zuhud dalam kehidupannya, mencerminkan reputasi beliau sebagai tokoh sufi yang memandang dunia dan kehidupan sebagai modal untuk meningkatkan kualitas rohaniah, meraih nilai keabadian dan mendapatkan kebahagiaan ukhrawi. Keempat Al-Ariful Qudwah, gelar untuk seorang tokoh yang termasyhur dan menjadi suri tauladan. Kelima Syaikhul Islam, ulama fikih yang berwenang memberikan fatwa, gelar itu diberikan karena ketokohan dan wawasan yang luas. Keenam Sultanul awlia, pemimpin para wali. Ketujuh Al-asfiya, pemimpin para sufi. Selain itu dia juga diberi gelar muhyidin yang artinya “pembangkit agama”. Riwayatnya pada hari Jum’at tahun 511 M, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam batinnya melihat seolah-olah ia sedang berjalan di sebuah lorong di Baghdad. Ketika sedang berjalan ia melihat seseorang yang kurus dan sakit di tepi jalan. Orang itu mengucap salam dan ia pun menjawab salam itu. Orang tersebut minta tolong agar ia berdiri. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pun menolongnya. Setelah berdiri tiba-tiba tubuh orang itu menjadi besar. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani merasa takut melihat kejadian itu, lalu orang itu berkata “ Aku ini adalah agama nenek moyangmu, aku telah sakit dan tidak kuat berdiri, tetapi Allah telah menguatkan aku kembali melalui pertolonganmu”

Dalam kehidupan sehari-hari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memberi ajarannya kepada khalayak ramai tiga kali dalam seminggu. Setiap pada pagi dan petang ia mengajarkan tafsir, hadits, hukum-hukum agama serta perkara-perkara yang berkaitan dengannya. Selepas zuhur ia menyampaikan fatwa-fatwanya. Setiap petang sebelum maghrib, ia membagikan roti kepada fakur miskin. Selepas ashar ia duduk menanti buka puasa, ia dikenal menjalankan ibadah puasa setipa hari sepanjang tahun. Sebelum makan ia mengajak tetangganya makan bersamanya. Selepas isya’ ia masuk kamar dan memanfaatkan sebagian besar waktu malamnya untuk beribadah.

Beliau meninggal tanggal 11 Robiul Akhir 561 H / 1166 M, dimakamkan di Baghdad Irak.

CERITA YANG BERHUBUNGAN DENGAN SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Pada suatu hari iblis dating menemuinya mengaku sebagai Malaikat Jibril. Iblis tersebut mengatakan bahwa ia membawa Buraq (kendaraan yang membawa Nabi Muhammad SAW saat Isra’ Mi’raj) untuk membawa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menghadap Allah SWT. Mendengar perkataan iblis tersebut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani segera megetahui bahwa yang dihadapannya bukanlah malaikat Jibril melainkan Iblis yang menyamar. Sebab Jibril dan Buraq datang ke dunia hanya kepada Nabi Muhammad SAW saja. Iblis itu berkata “ Baiklah Abdul Qadir, kamu telah menyelamatkan dirimu dengan ilmumu” kemudian Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menjawab “Enyahlah kamu dari sini, jangan coba-coba lagi menggodaku, bukan ilmuku yang menyelamatkanku dari perangkapmu, tapi rahmat Allah dan pertolongannya” 

Pada suatu ketika Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berada di hutan belantara untuk beberapa waktu tanpa makan dan minum. Tiba-tiba datanglah awan lalu turunlah hujan, sehingga dapat digunakan sebagai penghilang dahaga. Kemudian datanglah sinar memancar dan berkata “ Aku ini adalah Tuhanmu, sekarang segala yang haram telah kuhalalkan untukmu”. Mendengar perkataan itu  Syekh Abdul Qadir Al-Jailani membaca “A’udzu billahi min as-syaithan nirrajimi “ ( aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk). Setelah membaca itu, sinar itupun berganti mejai awan lalu berkata “ Dengan ilmu dan rahmat Allah SWT, kamu telah selamat dari tipu dayaku” kemudian setan itu bertanya kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani “ Bagaimana kamu dapat mengenal setan dengan segera?” Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menjawab “ Bahwa apabila setan itu mengatakan bahwa ia menghalalkan segala yang haram maka seta merta dapat diketahui bahwa perkataan itu bukan datang dari Allah SWT, sebab Dia tidak menghalalkan segala yang haram”

IBNU SINA

Dunia ilmu kedokteran tidak akan asing dengan nama tokoh yang satu ini, Ibnu Sina atau dunia barat lebih mengenenal dengan sebutan Avicena. Beliau dilahirkan di kota Asyahan, Bukhara (Persia) tahun 980 M. Nama lengkapnya adalah Abu Husein bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina. Ibnu Sina termasuk anak yang cerdas. Sejak umur 5 tahun telah dikenalkan dengan ilmu agama. Ia berguru kepada Syekh Ismail Al-Zahid. Memasuki  usia 10 tahun telah hafal dan mendalami Al-Qur’an. Selain mempelajari imu agama, Ibnu Sina pun juga belajar filsafat dan matematika. Menginjak usia 16 tahun ia mulai memperdalam ilmu politik dan kedokteran.

Kehidupan yang sederhana tidak menghalanginya untuk belajar, justru dengan kecerdasannya ia banyak menghasilkan karya-karya ilmiah. Saat itu memang dikenal sebagai di jaman keemasan Peradaban Islam. Pada jaman tersebut ilmuwan-ilmuwan muslim banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India. Teks Yunani dari jaman Plato, sesudahnya hingga jaman Aristoteles secara intensif banyak diterjemahkan dan dikembangkan lebih maju oleh para ilmuwan Islam. Pengembangan ini terutama dilakukan oleh perguruan yang didirikan oleh Al-Kindi. Pengembangan ilmu pengetahuan di masa ini meliputi matematika, astronomi, Aljabar, Trigonometri, dan ilmu pengobatan.

Karena kepandaiannya Ibnu Sina sempat dipercaya menduduki jabatan strategis antara lain pernah menjabat sebagai perdana menteri. Beliau sangat menjaga amanat yang dipercayakan kepadanya. Hal tersebut membuat banyak yang yang bersimpati dan menaruh hormat kepadanya, namun tidak sedikit yang merasa iri hati sampai suatu saat beliau terkena fitnah dan dijebloskan ke dalam penjara.

Suatu hari beliau berhasil kabur dari penjara tersebut. Beliau melarikan diri ke kota Isfahah. Penguasa dan kota tersebut menyambutnya dengan suka cita. Ibnu Sina pada akhirnya diberi kepercayaan sebagai penasehat penguasa kota tersebut. Beliau menduduki jabatan tersebut sampai akhir hayatnya. Selama 21 tahun menjabat beliau tetap menyempatkan diri menulis karya-karya ilmiah. Dalam kurun waktu tersebut beliau menyelesaikan 276 judul buku. Selain dikenal sebagai pejabat dan penulis karya ilmiah, Ibnu Sina dikenal sebagai seorang tokoh sufi.

Karya-karya Ibnu Sina antara lain Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan), Al Hajat, Al Isyarat Wantanbiyat, Mantiq Al Masyriqiyyun, Salam Wal Absal, Qanun fi Thib (Canon of Medicine) dan masih banyak lagi. Ibnu Sina meninggal dunia tahun 427 H di Ishan.


Tinggalkan komentar